Jumat, 17 April 2020

Sejarah Perkembangan Antropologi

Sejarah Perkembangan Antropologi
Disiplin antropologi, merupakan produk peradaban Barat yang relatif baru. Dalam sejarah lahirnya antropologi, perkembangan ilmu itu melalui suatu tahapan yang panjang. Koentjaraningrat (1987: 27-28) memaparkan bahwa lembaga-lembaga antropologi etnologi merupakan awal lahirnya antriopologi. Lembaga Societe Etnologique didirikan di Paris tahun 1839 oleh cendekiawan M. Edwards, namun lambat laun lembaga ini terdesak oleh istilah sociologique atau sosiologi. Sedangkan di London didirikan The ethnological Society oleh seorang tokoh anti perbudakan T. Hodgkin. Tujuan didirikannya lembaga ini adalah menjadi pusat pengumpulan dan studi dari bahan etnografi yang berasal dari sebanyak mungkin kebudayaan di dunia ini. Dua puluh lima tahun kemudian (1874) di London diterbitkan buku “Notes and Queries in Anthropology”, untuk menyusun pedoman dalam mengumpulkan etnografi secara teliti.
 merupakan produk peradaban Barat yang relatif baru Sejarah Perkembangan Antropologi
Etnologi (ilmu tentang bangsa-bangsa), secara resmi diakui dalam dunia perguruan tinggi di Inggris dengan diadakannya suatu mata kuliah dalam bidang itu di Universitas Oxford tahun 1884, dengan E. B. Tylor sebagai dosennya yang pertama. Tylor adalah seorang ahli arkeologi yang mendapatkan pendidikan sastera tentang peradaban Yunani dan Romawi kuno. Tylor banyak berjasa dalam mengembangkan antropologi, dan pada tahun 1871 ia menulis Researches into the History Mankind, tampak pendiriannya sebagai penganut evosionisme. Sedangkan karya yang terpenting adalah Primitive Culture: Researches into the Development of Mythology, Philosophy, Religion, Language, Art and Custom. Di samping itu juga ia menulis tentang evolusi keluarga, dalam bukunya “On a Method of Investigating the Development of Institutions”. Ia mengemukakan bahwa keluarga berevolusi dari sistem matriarchate ke tingkat patriarchate (suatu pendirian yang mula-mula berasal dari J. J. Bachoven).

Di Amerika Serikat etnologi diakui secara resmi dengan dibukanya Departement of Archeology and Ethnology di Universitas Harvard pada tahun 1888. Dalam perkembangannya lembaga etnologi di Amerika itu terdesak oleh istilah “antropologi”, sebagai ilmu tentang manusia dalam segala aspeknya, baik fisik maupun budayanya dari manusia dahulu hingga sekarang (Koentjaraningrat, 1987: 29). Lewis H. Morgan (1818-1881) adalah perintis dan pelopor yang memberikan andil besar kepada ilmu antropologi, ia mula-mula seorang ahli hukum yang tinggal di daerah hulu S. St. Lawrence dan di selatan danau Ontario dan  Erie (Negara Bagian New York) sebagai pengacara. Dengan memperoleh wawasan dan pengetahuan yang luas tentang etnis Indian itu secara langsung dalam bidang etnografi, Morgan banyak mengupas sistem kekerabatan (kinship system) hampir pada semua suku bangsa Indian yang sangat beragam dan berbeda itu.

Karya utama Morgan berjudul Ancient Society (1877) yang melukiskan proses evolusi masyarakat dan kebudayaan melalui delapan tingkat evolusi yang universal. Namun, teori Morgan mengenai evolusi kebudayaan itu  dikecam keras oleh para antropolog dari Inggris maupun Amerika, dan ia tak menjadikannya sebagai “pendiri antropologi” yang diakui dunia. Tetapi di Uni Soviet, teori Morgan demikian populer karena bersesuaian dengan ajaran Karl Marx dan F. Engels mengenai evolusi masyarakat manusia (Koentjaraningrat, 1987: 44-45).

Sebetulnya, para ilmua Eropa memang telah mengumpulkan segudang informasi tentang orang-orang Asia, Amerika, dan Afrika sejak abad ke 16. Akan tetapi laporan-laporan itu umumnya tidak sistematis dan kurang terpercaya. Baru sejak abad kedelapan belas, para ilmuwan semakin mencurahkan perhatian terhadap studi literature dan tradisi-tradisi religius di Timur. Akan tetapi deskripsi-deskripsi yang terpercaya dan cukup rinci tentang “orang-orang luar pusat-pusat kebudayaan besar” jarang ditemui. Begitu juga untuk ahli-ahli sejarah dunia pada zaman Pencerahan, terpaksa memakai sumber-sumber seadanya yang umumnya kurang memuaskan untuk merintis karya itu. Bahkan para pelopor antropologi terpaksa melakukan dekontekstualisasi dan seringkali membuat laporan yang naif tentang ada istiadat dan kebiasaan, hal ini berbeda dengan pelopor ekspedisi etnografi di dekade terakhir abad 19. Di mana pada dekade itu mulai muncul ilmuwan-ilmuwan propesional, dan umumnya melakukan survey di wilayah yang luas. Disinilah para antropolog metropolitan mulai mengorganisir pengumpulan informasi etnografis yang sistematis. Model yang mereka pakai adalah laporan-laporan lapangan para ahli botani dan zoology, serta bentuk etnografi yang mereka sukai adalah daftar perilaku dan teknologi budaya, yang seringkali memuat pengukuran fisik serta data sejarah alam (Kupper, 2000: 30).

Kemudian pada abad ke 20, terjadi pergeseran lebih jauh, yakni intensifnya studi-studi lapangan tentang berbagai kebudayaan. Franz Boaz melakukan studi jangka panjang terhadap penduduk asli pantai utara British-Columbia, di mana ia mengumpulkan arsip-arsip yang amat banyak tentang teks-teks berbahasa daerah dari para informan kunci. Boas adalah sosok antropolog yang diakui sebagai “Bapak” pendiri antripolog. Ia adalah seorang kelahiran Jerman ahli geografi yang menulis buku The Central Eskitmo (1888). Suatu penelitian yang penting dilakukan Boas, adalah penelitian yang akurat baik teks-teks dongeng maupun transkripsi fonetik tentang dongeng-dongeng dan motif dongeng. Boas juga mengembangkan teorinya tentang pertumbuhan kebudayaan yang dikenal dengan “Teori Marginal Survival” yang kemudian menjadi embrio lahirnya “Teori Culture Area”.

Menurut Boas, pertumbuhan kebudayaan menyebabkan timbulnya unsur-unsur baru yang akan mendesak unsur-unsur lama ke arah pinggir sekeliling daerah pusat perumbuhan budaya itu. Oleh sebab itu jika hendak mencari unsur-unsur kuno, maka tempat yang relevan untuk mendapatkannya adalah daerah-daerah pinggir (Marginal). Boas juga telah meletakan suatu konsepsi dasar yang sampai sekarang ini dianut oleh hampir semua universitas di Amerika Serikat, yakni kesatuan dari semua ilmu tentang manusia dan kebudayaannya, atau: ilmu paleo-antropologi, ilmu antropologi fisik, ilmu arkeologi prasejarah, ilmu etnolinguistik, dan ilmu antropologi budaya, yang menjadi sub ilmu antropologi keseluruhan. Kemudian ia mendirikan jurusan Antropologi di Universitas Columbia di New York, dan sejak itu di beberapa universitas lainnya di Amerika Serikat mengikuti jejaknya dengan mengadakan sub-sub ilmu tersebut sebagai bagiannya (Koentjaraningrat, 1987: 126). Gagasan-gagasan Boas ini banyak dilanjutkan bahkan dikembangkan lebih jauh oleh murid-muridnya yang tergolong antopolog produktif, seperti; A. L. Kroeber, R. Lowie, A. A. Goldenweiser, P. Radin, R. Linton, L. Spier, E. Sapir, dan G. P. Murdock. Selain itu Boas juga telah berhasil mendidik antropolog wanita yang sukses, seperti; Ruth Benedict, Margaret Mead, Elsie C. Parson, Ruth L. Bunzel, dll.

Kemudian, selain itu yang para ilmuwan Rusia dan Polandia melakukan penelitian tentang orang-orang Siberia, dan para ilmuwan Eropa mulai menerbitkan studi-studi tentang masyarakat di daerah jajahan yang beriklim tropis. Antara tahun 1915 dan 1918 Brosnilaw Malinowski (1884-1942) terjun dalam sebuah studi dilapangan mengenai Kepulauan Tobriand di Melanesia, yang memperkenalkan pendekatan baru dalam riset etnografi. Ia lahir di Cracow Polandia sebagai keluarga bangsawan Polandia. Malinowski banyak terpengaruh oleh J. G. Frazer, The Golden Bough, oleh  karena itu ia sangat tertarik oleh ilmu etnologi, dan melanjutkan studinya ke London School of Economics di Inggris dengan memperdalam “Ilmu sosiologi empirikal” di bawah bimbingan C. G. Seligman. Pada tahun 1914 ia dengan bantuan Seligman mengadakan penelitian ke Kepulauan Masim (sebelah tenggara Papua Nugini). Selama lebih dari dua tahun ia meneliti orang Tobriand. Buku yang pertama ditulisnya adalah “Argonauts of the Western Pacific (1922), dan yang kedua adalah “Crime and Costum in Savage Society (1926). Setelah itu berturut-turut terbit buku The Sexual Life of the Savages (1929) dan Coral Gardens and Their Magic tahun 1935 (Koentjaraningrat, 1987: 161-162).

Malinowski berhasil mengembangkan suatu teori baru yang menganalisis fungsi dari kebudayaan atau a functional theory of culture, walaupun teori ini disusun setelah ia meninggal dalam bukunya A Scientifc Theory of Culture and Other Essay (1944). Inti teori ini bahwa segala aktivitas kebudayaan itu sebenarnya bermaksud memuaskan suatu rangkaian dari sejumlah kebutuhan naluri makhluk manusia yang berhubungan dengan seluruh kehidupannya. Selain itu, ia juga memberikan pemikiran-pemikiran yang berharga tentang “pengendalian sosial” atau “hukum”. Ia menghabiskan waktu beberapa tahun di lapangan, memahami bahasa Tobriand dan secara sistematis bukan hanya mencatat sistem aturan, nilai-nilai, dan upacara-upacara yang bersifat ideal, melainkan ia juga praktikan sehari-hari dalam kehidupan mereka. Dipengaruhi oleh sosiolog Emile Durkheim, ia berpendapat bahwa orang-orang Tobriand telah membentuk suatu sistem sosial yang lembaga-lembaganya saling merawat satu sama lain dan berfungsi sebagai sederet kebutuhan dasar mereka. Ia tidak menyajikan tata aturan sosial yang ideal, namun justru melihat divergensi aturan-aturan dan ketertiban perilaku strategis dari masing-masing orang untuk memperbesar keuntungan pribadi dalam praktik-praktik sosial yang ada dalam komunitas-komunitas kecil dan homogen (Kupper, 2000: 31).

Bentuk kerja lapangan seperti ini, yang belakangan disebut “observasi partisipan” atau “pengamatan yang terlibat”, yang mau tidak mau menjadi model standar dalam riset etnografis. Kemudian perkembangan berikutnya secara khusus mazhab British dalam antropologi mengeksploitasi potensi metode ini dan menghasilkan sederetan pendekatan klasik etnografi yang agaknya telah terbukti handal dan dinyatakan sebagai prestasi antropologi sosial dan budaya yang paling lama di abad ke 20 (misalnya Firth 1936; Evans-Pitchard 1937; Malinowski 1922; 1935; Turner 1957). Beberapa wilayah Afrika, Indonesia, Melanesia, dan Amazon perlahan-lahan mulai terliput oleh serangkaian studi etnografi yang saling terkait, yang menjadi dasar bagi perbandingan regional yang intensif.

Dalam perkembangan selanjutnya, para evolusionistis masih  meyakini bahwa sejarah sosial dan budaya umat manusia bisa ditata dalam serangkaian tahap-tahap baku, walaupun masing-masing populasi berkembang dengan kecepatan yang berbeda. Gagasan pokok ini telah digoyahkan oleh kritik-kritik para Boassian (pengikut teori Boass) dan ilmuwan-ilmuwan lain awal abad ke dua puluh, namun masih dipegang teguh oleh beberapa mazhab arkeologi dan dilanggengkan oleh penulis-penulis Marxis (Kupper, 2000: 31).

Memang terdapat usaha-usaha untuk membangkitkan kembali sejarah evolusionis yang bersifat umum dalam bentuk yang lebih canggih (Gellner, 1988). Ada pula studi-studi rinci tentang tipe-tipe kasus yang sengaja dirancang untuk menerangkan proses evolusi. Contihnya Richard Lee (1979) meneliti secara rinci, meneliti kehidupan ekonomi suku Kung Bushman dan secara tersurat bertujuan mencari petunjuk-petunjuk tentang cara hidup populasi zaman Upper Palaeolithic. Studinya memperlihatkan bahwa Kung dapat mempertahankan cara hidup dengan teknologi sederhana di lingkungan yang sulit, dan rincian-rincian organisasi sosial ekonomi. Kung secara luas diambil sebagai paragdimatis dari kehidupan berburu meramu sekarang dan di masa lalu (Lee, 1979; Lee dan De Vore 1968). Sebuah kritik yang sangat kuat pengaruhnya berkata bahwa suku Kung justru dapat dipahami dalam konteks sejarah modern mereka yang tersendiri. Mereka telah mewarisi kontak berabad-abad dengan para pastor berbahasa Bantu serta orang-orang kolonial Eropa, dan cara hidup mereka menunjukkan adaptasi defensif terhadap eksploitasi (Wilmsen, 1989). Ada pula yang berpendapat pemahaman terbaik terhadap budaya Kung adalah sebagai contoh lokal dari tradisi budaya yang khusus, sebagai pandangan pastor orang-orang Khoisan serta kelompok-kelompok Bushmen di Gurun Kalahari. Kritik-kritik itu mengingatkan kita kembali pada kritk-kritik Boassian terhadap kritik-kritik evolusionis dahulu (Kupper, 2000: 32).

Berkaitan dengan itu, terdapat tradisi pemikiran lebih menitik-beratkan masalah universalitas manusia serta hubungan antara kapasitas dan bentuk-bentuk perilaku pada manusia maupun primata lainnya. Sejak tahun 1970-an gerakan sosiobiologi memberi angin segar terhadap tradisi ini, dengan menggabungkan titik berat etnologi terhadap sifat manusia dan teori seleksi; lembaga-lembaga seperti tabu incest dapat diterangkan dari sumbangannya terhadap evolusi. Para ahli antropologi sosial dan budaya lebih terpesona oleh keragaman adat istiadat dan kecepatan perubahan yang dapat dialami setiap kebudayaan seperti yang dilakukan tradisi itu.

Sebuah pendekatan alternatif tentang universalitas manusia ditawarkan oleh strukturalisme Claude Levi-Strauss, yang berpendapat bahwa proses-proses intelektual umu yang ditentukan oleh struktur pemikiran manusia merupakan dasar bagi semua kebudayaan (Levi-Strauss, 1963; 1977). Ia dipengaruhi oleh konsep linguistik struktural, tetapi pendekatan-pendekatannya kemudian lebih didasarkan teori-teori kognisi.

Pendekatan ilmu-ilmu sosial mendominasi antropologi sosial dan budaya, hampir sepanjang abad dua puluh, dan bersesuaian dengan pendekatan behavioral serta politivistik. Di Eropa, istilah antropologi sosial menjadi umum dan mencerminkan pengaruh dari tradisi Durkheim dalam sosiologi. Studi-studi etnografi umumnya ditulis dalam kerangka “fungsionalis” yang mengangkat saling keterkaitan antara lembaga-lembaga dalam sebuah masyarakat tertentu. Di antaranya ada yang dipengaruhi Marxis pada dasawarsa 1960-an dan 1970-an. Tetapi sejak pertengahan 1980-an, pendekatan sosiologi yang sifatnya individualis menjadi populer, meskipun begitu tradisi strukturalis juga masih tetap bertahan (Kupper, 2000: 32).

Kebanyakan para ahli antropologi di Eropa, kini lebih terbuka dari pada pendahulunya terhadap gagasan-gagasan yang berakar dari antropologi budayaa di Amerika (Kupper; 1992). Banyak ahli antropologi Amerika secara khusus berminat pada psikologi, dan berkembanglah sebuah spesialisasi yang diajukan untuk menerapkan teori-teori psikologi masyarakat non-Barat. Pada awalnya minat mereka terutama adalah pada sosialisasi, tetapi belakangan ini fokusnya beralih ke studi tentang kognisi (D’ Andrade: 1994).

Terdapat juga usaha-usaha untuk mengembangkan tipologi-tipologi sistem sosial, agama, kekerabatan, politik, dan seterusnya. (Fortes dan Evan Pritchard, 1940) di Amerika Serikat, Murdock membuat semacam database lintas budaya untuk memudahkan pengujian hipotesis-hipotesis tentang hubungan antara berbagai variabel, seperti bentuk keluarga dan ekonomi, atau antara proses inisiasi para pemuda dan praktik perang, dll (Murdock, 1949). Ada juga tradisi panjang dalam perbandingan budaya regional, yang memperhitungkan hubungan-hubungan historis dan mencoba melihat kesinambungan-kesinambungan di tingkat lokal.

Boass dan para mahasiswanya cenderung menitik-beratkan keragaman tradisi budaya lokal dan arah perkembangannya yang bersifat aksidental. Sebagian dari rekannya yang paling kreatif akhirnya melihat antropologi budaya sebagai salah satu ilmu humaniora, dan selanjutnya hal ini menjadi pandangan dominan dalam antropologi budaya Amerika pada dekade terakhir abad dua puluh (Kupper, 2000: 32). Di antara tokohnya terdepan adalah Clifford Geertz, yang berpendapat bahwa secara umum adalah “penafsiran” bukannya “penjelasan” yang seyogyanya diutamakan dalam tujuan antropologi budaya (Geertz, 1973).

Para antropologi yang berpandangan seperti di atas, umumnya bersikap skeptis terhadap pendekatan-pendekatan ilmu sosial, agak meragukan  manfaat dari tipologi-tipologi, dan menolak apa yang mereka sebut sebagai teori-teori biologi “reduksionis”. Dan, sebagai pengaruh yang dewasa ini berkembang adalah pengaruh ilmu linguistik-humanistik Edward Sapir, namun dibalikkan oleh gerakan-gerakan dalam teori bidang linguistik, hermeneutika, dan studi literatur. Penghargaan terhadap cara berfikir yang asing juga membangkitkan pemikiran kritis dan reflektif. Tuntunan-tuntunan terhadap sikap adidaya dari para rasionalis atau pandangan ilmiah dunia Barat juga menimbulkan kecurigaan (Geertz dan Marcus: 1986).

Pada masa pasca Perang Dunia II, seorang antropolog Perancis Levi-Strauss (1949/1963) mengembangkan pendekatan struktural yang bertujuan membuat kesimpulan umum tentang mentalitas manusia sebagaimana yang terungkap dalam institusi-institusi sosial dan mitos, sehingga tidak hanya menyerap pemikiran-pemikiran Mauss, namun juga linguistik. Levi-Strauss adalah eksponen terkemuka dari antropologi struktural ini. Karya besarnya yang pertama “The Elementary Structures of Kinship (1963)” mungkin bisa dikatakan sebagai penemuan kembali dari perkawinan asimetris (yang ia sebut dengan istilah exchange generalize), namun ia menempatkannya dalam konteks yang lebih luasa dan mendalam; secara etnografis dengan menggunakan bahan-bahan dari Siberia, Cina, India, dan Australia, terutama sekali secara teoritis dengan membuat sistem exchange yang menerapkan konsep incest dan exogami, menerapkan pertentangan antara alam dan kultur yang kemudian menjadi hal yang fundamental dalam semua karya berikutnya. Levi-Strauss mempengaruhi beberapa antropologi sosial lainnya termasuk Inggris yang terkemuka seperti; Edmund Leach, Mary Douglas, dan Ridney Needham. Meski begitu baik “ fungsionalis” maupun “strukturalis”, sama-sama diserang pada tahun 1970-an. Kelompok kritikus Marxis menuduh kedua aliran ini sebagai “tidak sesuai sejarah” dan menelantarkan proses sosiologi makro. Berbagai teori Marxis dan teori ketergantungan menjadi populer ataupun berpengaruh setelahnya. Sementara itu di kalangan feminis melontarkan kritik dengan memperkenalkan sebuah perspektif baru dengan teori-teori feminismenya yang kita kenal sejak feminisme klasik Mary Wollstonecraft dan Virginia Woolf, sampai ferminisme generasi kedua seperti Simone de Beavoir, Luce Irigary, Kate Milet, dan Carole Pateman (Lechte, 2001: 242-266; Hum, 2000: 354).

Jika diperhatikan tentang perkembangan ilmu-ilmu bagian antropologi, boleh jadi etnografi merupakan bagian yang paling sukses dalam antropologi sosial dan budaya. Namun apa sebenarnya manfaat yang dapat diambil dari studi-studi etnografi yang umumnya menangani komunitas-komunitas kecil terasing itu? Menurut Kupper (2000: 31) ada 4 jawaban bisa diberikan terhadap pertanyaan itu. Pertama, menurut pemikiran evolusionistis orang-orang yang dianggap primitif itu secara kesejarahan dapat memberikan pemahaman tentang cara hidup nenek moyang manusia. kedua, melihat gambaran ilmu-ilmu sosial (khusunya setelah 1920), banyak ahli antropologi berpendirian bahwa penelitian dan perbandingan etnografi akan memudahkan pengembangan ilmu sosial yang benar-benar universal, yang menyentuh sekalian umat manusia, dan tidak membatasi diri pada studi-studi tentang masyarakat modern Barat. Ketiga, sejumlah ahli antropologi yang dipengaruhi oleh etnologi dan kemudian sosiobiologi, meyakini bahwasanya etnografi komparatif akan mengangkat unsur-unsur kemanusiaan yang universal. Keempat, para humanis yang  acapkali skeptis terhadap generalisasi-generalisasi mengenai perilaku manusia, berpendapat bahwa pemahaman terhadap kehidupan yang asing itu sendiri akan banyak gunanya. Hal tersebut akan memperluas pengertian kita tentang maknanya bagi manusia, menambah penghormatan kita pada relativitas nilai-nilai dan memperluas rasa simpati kita.

Pada tahun 1980-an terjadi pergeseran penting, yakni orientasi sosiologi yang memberikan karakteristik dominan pada antropologi sosial hampir sepanjang abad 20 itu, menjadi suatu perhatian baru atas problem-problem pemaknaan dan kultur yang dipandang sebagai kategori residu oleh kalangan sosiolog komparatif. Para teoritisi Amerika dalam tradisi antropologi kultural seperti Cliford Geertz dan David Shneider memiliki pengaruh penting di Eropa dan Asia. Kemudian giliran kaum pasca modern yang dipelopori beberapa ilmuwan muda, Amerika melakukan beberapa perubahan. Pergolakan teoretis ini diikuti hilangnya keyakinan akan obyektivitas dan reliabilitas metode lapangan dari etnografi. Proyek  tipologi kalangan fungsionalis dan strukturalis ini sering ditolak karena positivisme yang terkandung di dalamnya dan barangkali juga karena arogansi dari transposisi kategori budaya Barat terhadap cara hidup yang lain (Kupper, 2000: 972).

Tetapi pada saat yang bersamaan tradisi Anglo Perancis dari antropologi sosial telah menyebar terutama melalui Eropa Barat. Pada tahun 1989 European Association of Social Anthropologists didirikan. Berdasarkan berbagai konferensi dan publikasi merebaknya asosiasi semacam ini (lihat jurnal Social Anthropology yang mulai dipublikasikan 1992), ditetapkan suatu sintesis baru. Para ahli antropologi sosial modern menciptakan berbagai teori sosial kontemporer (Kupper, 1992) dan mereka bereksperimen dengan suatu kisaran yang luas dari strategi penelitian yang bersifat komparatif, historis, dan etnografis. Sedangkan tradisi penelitian lapangan etnografi tetap kuat, di mana kajian-kajian sering bersifat jangka panjang dan historis. Banyak penelitian etnografi di beberapa wilayah dan munculnya berbagai komunitas lokal ilmuwan juga mengakibatkan kajian-kajian lapangan menjadi lebih terspesialisasi, bahkan dirasakan lebih canggih.

Referensi;
Koentjaraningrat, 1987, Sejarah Teori Antropologi, Jilid 1, Jakarta: Universitas Indonesia Press.
Kupper, Adam, 2000a, “Antropologi” dalam Adam Kuper dan Jessica Kupper (ed), Ensiklopedi Ilmu-ilmu Sosial, Diterjemahkan Oleh Haris Munandar dkk, Jakarta: Raja Grafindo Persada, Hlm. 29-33.
Kupper, Adam, 2000b, “Kekerabatan” dalam Adam Kuper dan Jessica Kupper (ed) Ensiklopedia Ilmu-ilmu Sosial, Diterjemahkan Oleh Haris Munandar dkk, Jakarta: Raja Grafindo Persada, Hlm. 553-535.
Lechte, John, 2001, 50 Filsuf Kontemporer: dari Strukturalisme sampai Post Modernisme, Diterjemahkan A. Gunawan Admiranto, Yogyakarta: Kanisius.
Humm, Maggie, 2000, “Teori Feminisme” dalam Adam Kuper dan Jessica Kupper, Ensiklopedia Ilmu-ilmu Sosial, Diterjemahkan oleh Haris Munandar, Jakarta: Raja Grafindo Persada.

*Rajinlah belajar demi Bangsa dan Negara, serta jagalah kesehatanmu!
*Semoga anda sukses!